Peer-to-Peer (P2P) Lending telah menjadi inovasi besar dalam industri keuangan global. Di Indonesia, platform seperti Investree menjadi pionir dalam menyediakan akses pembiayaan bagi UMKM tanpa perantara lembaga keuangan tradisional. Namun, perjalanan Investree yang awalnya dipuji sebagai pelopor fintech lending justru berakhir dengan krisis dan likuidasi. Artikel ini mengulas secara mendalam perjalanan Investree, cara kerjanya, serta runtuhnya reputasi yang pernah dibanggakan.
Apa Itu Peer-to-Peer Lending?
Peer-to-Peer Lending adalah sistem pembiayaan berbasis teknologi yang mempertemukan langsung antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) melalui platform digital. Skema ini memungkinkan peminjam mendapatkan akses dana lebih cepat, dan lender memperoleh imbal hasil lebih tinggi daripada instrumen simpanan konvensional. Di Indonesia, P2P Lending berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sejarah dan Perkembangan Investree
Investree didirikan pada 2015 oleh Adrian Gunadi, Amir Amiruddin, dan Lim Kok Chuan. Perusahaan ini berkembang pesat berkat inovasi dalam menyediakan pembiayaan invoice financing dan pinjaman modal kerja kepada UMKM. Dalam beberapa tahun, Investree menyalurkan lebih dari Rp14 triliun kepada pelaku usaha di Indonesia. Bahkan, mereka berekspansi ke Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Kesuksesan tersebut menarik minat investor global, termasuk pendanaan Seri D dari JTA International Holdings senilai 220 juta euro. Investree sempat dianggap sebagai salah satu bintang di lanskap fintech Asia Tenggara.
Cara Kerja Investree
Investree menjalankan peran sebagai platform penghubung. Borrower mendaftar dan mengajukan pinjaman, yang kemudian dianalisis oleh sistem dan tim analis kredit Investree. Setelah disetujui, pinjaman ditampilkan di marketplace dan tersedia untuk didanai oleh lender.
Lender dapat memilih pinjaman berdasarkan profil risiko dan bunga. Setelah pinjaman didanai, borrower melakukan pembayaran berkala melalui platform. Investree memfasilitasi pembayaran tersebut ke lender hingga pokok dan bunga lunas.

Awal Mula Masalah: Kredit Macet dan Keluhan Lender
Akhir 2023 menjadi titik kritis bagi Investree. Lender mengeluhkan pembayaran cicilan yang tak sebanding, bahkan ada yang hanya menerima pengembalian Rp7.000 dari pinjaman belasan juta. Tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) mencapai 12,58%, melampaui batas maksimum OJK sebesar 5%.
Situasi ini mencerminkan ketidakefektifan sistem penilaian risiko Investree serta lemahnya kontrol terhadap borrower. Banyak peminjam yang menunggak pembayaran dan perusahaan gagal menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Sanksi dari OJK dan Pencabutan Izin Usaha
Melihat lonjakan gagal bayar, OJK menjatuhkan sanksi administratif pada Januari 2024. Investree gagal memperbaiki struktur permodalannya dan tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Akhirnya, OJK mencabut izin usaha Investree pada 21 Oktober 2024 melalui SK Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-53/D.06/2024.
Dengan pencabutan izin tersebut, Investree resmi dilarang melakukan kegiatan pinjam meminjam berbasis teknologi dan diwajibkan menyelesaikan semua kewajiban kepada lender dan borrower.
Gugatan Lender dan Tindakan Hukum
Sebanyak 16 lender menggugat Investree ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan gugatan wanprestasi. Mereka menuntut pengembalian pokok pinjaman yang belum dibayarkan. Nilai kerugian yang diklaim mencapai miliaran rupiah.
Dalam perkembangan hukum, mantan CEO Adrian Gunadi ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang, termasuk menggunakan dana perusahaan sebagai penjamin perusahaan afiliasi miliknya. Adrian kemudian dilaporkan melarikan diri ke luar negeri dan OJK bersama kepolisian mengajukan red notice melalui Interpol.
Likuidasi dan Proses Pengembalian Dana
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 14 Maret 2025 memutuskan untuk membubarkan perusahaan dan menunjuk tim likuidator. Semua kreditur dan lender diminta mendaftarkan klaim mereka dalam waktu 60 hari sejak pengumuman pembubaran.
Tim likuidator akan melakukan verifikasi aset, kewajiban, dan melakukan penyelesaian kepada seluruh pihak sesuai peraturan perundang-undangan. Namun proses ini diperkirakan memakan waktu lama dan kemungkinan tidak semua lender akan menerima pengembalian penuh.

Dampak Terhadap Industri Fintech
Kasus Investree menjadi peringatan keras bagi industri fintech Indonesia. Skandal ini mengguncang kepercayaan publik terhadap P2P lending dan menuntut penguatan sistem pengawasan. OJK diminta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan peran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga dipertanyakan.
Investor kini lebih selektif dan berhati-hati dalam menaruh dana di fintech lending. Banyak yang mulai mengalihkan portofolio ke platform yang lebih stabil atau memilih instrumen keuangan lain yang lebih aman.
Pelajaran dari Runtuhnya Investree
Runtuhnya Investree mengajarkan pentingnya tata kelola perusahaan (good corporate governance), integritas manajemen, dan transparansi pada industri yang sedang berkembang. Meski teknologi dapat mendisrupsi sektor keuangan, namun prinsip kehati-hatian dan pengawasan tetap menjadi fondasi utama.
Para lender dan calon investor sebaiknya memahami betul risiko P2P lending dan tidak hanya terpikat imbal hasil tinggi. Kasus Investree adalah contoh nyata bahwa tanpa pengelolaan dan akuntabilitas yang baik, bahkan platform besar pun bisa tumbang.