Purbaya Alasan Warga RI Susah Beli Rumah Meskipun Kredit Masalah akses kepemilikan rumah bagi rakyat Indonesia tampaknya masih jauh dari kata tuntas. Meskipun skema kredit KPR sudah tersedia di banyak bank, kenyataannya banyak warga yang masih kesulitan membeli rumah. Purbaya Yudhi Sadewa selaku Menteri Keuangan akhirnya mengurai beberapa penyebabnya secara jelas. Pernyataannya membuka cakrawala baru mengapa kondisi “rumah impian” bagi banyak orang jadi terasa menahan napas.
Menurut Purbaya, sekalipun kredit KPR tersedia, ada beberapa kendala struktural dan mekanisme praktis yang membuat warga sulit mengakses kepemilikan rumah. Ini bukan sekadar soal uang muka atau suku bunga, melainkan lebih dalam ke arah sistem, data, dan daya beli.
“Ketika pintu kredit terbuka, kita ternyata masih diperlambat oleh tangga-tangga panjang yang tidak terlihat.”
Permintaan Rumah Rendah Meski Kredit Tersedia
Purbaya menyebut bahwa satu permasalahan utama adalah minat beli rumah yang masih rendah. Meski sektor perumahan sudah disiapkan dengan berbagai insentif, realisasinya belum maksimal. Banyak rumah yang dibangun tetapi unitnya belum terserap secara optimal.
Ia menyebut bahwa walaupun bank telah mendapatkan suntikan likuiditas dari pemerintah, kanal penyaluran pembiayaan ke sektor perumahan, terutama untuk segmen rakyat berpenghasilan rendah (MBR), masih berjalan pelan. Dalam kondisi seperti ini, membangun banyak rumah saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan daya beli masyarakat dan mekanisme kredit yang benar-benar bisa menjangkau mereka.
“Rumah bukan sekadar genting dan pondasi, rumah adalah harapan. Ketika harapan itu misalnya terhalang oleh syarat yang terlalu tajam, maka rumah jadi jauh dari jangkauan.”
Kendala Data dan Sistem Credit Information
Salah satu bagian kunci yang disebut oleh Purbaya adalah sistem layanan informasi keuangan (SLIK) yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia mengungkap bahwa data calon pembeli rumah yang tercatat dalam SLIK sebagai memiliki kredit macet atau catatan buruk membuat akses KPR jadi tersendat.
Menurut Purbaya data yang semula disebut 110.000 orang ternyata setelah verifikasi hanya sedikit yang benar-benar bermasalah secara kredit. Artinya bukan hanya jumlahnya yang membingungkan tapi mekanisme clearing data dan akses pembiayaan yang belum bersih. Sistem SLIK yang idealnya jadi penghalang bagi kredit macet juga menjadi penghalang bagi mereka yang sebenarnya layak mendapat KPR.
“Ketika kaca mata data kita tidak tajam maka banyak orang baik yang tertutup aksesnya hanya karena bayangan angka yang belum bersih.”
Tingkat Bunga dan Uang Muka yang Masih Berat
Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai stimulus termasuk insentif bagi pembelian rumah pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa uang muka (down payment) dan suku bunga tetap jadi penghalang signifikan bagi banyak keluarga muda atau rumah tangga baru.
KPR dengan uang muka rendah memang tersedia, namun seringkali terbatas pada subsidi atau segmen tertentu. Sistem kredit komersial dengan uang muka yang lebih tinggi masih tetap banyak digunakan, sementara kenaikan suku bunga global berdampak pada biaya kredit lokal yang akhirnya menyulitkan calon pembeli yang pendapatannya belum tinggi atau belum stabil.
“Uang muka itu bukan sekadar angka awal yang harus dibayar. Ia adalah simbol apakah mimpi memiliki rumah itu bisa kita jangkau atau hanya jadi angan angan.”
Penghasilan yang Tidak Tumbuh Seiring Kenaikan Harga Rumah
Salah satu ironi yang diungkap Purbaya adalah bahwa kenaikan harga rumah berlangsung cukup pesat di banyak wilayah, sementara pertumbuhan pendapatan masyarakat tidak secepat itu. Hal ini membuat rasio kemampuan membeli rumah menjadi semakin berat.
Di kota-kota besar, harga rumah naik karena faktor lahan, biaya konstruksi, serta permintaan yang naik. Namun jika masyarakat pengguna rumah pertama tidak dibarengi peningkatan daya beli, maka proses kepemilikan rumah menjadi semakin sulit. Purbaya menyoroti bahwa kebijakan kredit saja tidak cukup jika aspek ekonomi rumah tangga tidak membaik secara signifikan.
“Harga rumah naik tanpa naiknya penghasilan seperti menaiki tangga yang licin. Kaki menapak tapi tangganya terus bergeser ke atas.”
Kualitas Produk Perumahan yang Tidak Selalu Ideal
Purbaya juga mengingatkan agar masyarakat tidak hanya melihat rumah sebagai produk investasi atau barang jual beli, tetapi sebagai tempat tinggal yang layak dan nyaman. Sebagai contoh, rumah yang dibeli dengan harga murah namun di lokasi yang jauh dari akses transportasi, fasilitas umum atau pekerjaan justru memunculkan biaya hidup tambahan.
Banyak unit rumah di segmen murah yang dibangun namun belum dilengkapi infrastruktur memadai atau berada di lokasi yang jauh. Hal ini membuat biaya operasional, transportasi, dan waktu menjadi beban tambahan bagi pembeli. Jika rumah menjadi beban bukan solusi maka kiprah program penyediaan rumah murah akan sulit menyentuh target sasaran.
“Rumah bukan sekadar atap di atas kepala, tetapi juga pintu yang membuka akses kepada kehidupan yang layak.”
Peran Lembaga Pembiayaan dan Bank
Purbaya menekankan bahwa peran bank dan lembaga pembiayaan sangat krusial dalam memastikan KPR bisa dijangkau oleh banyak orang. Meski likuiditas ditingkatkan, proses verifikasi, persyaratan administrasi, dan standar penilaian masih menjadi hambatan.
Pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah pun masih memerlukan kebijakan yang lebih agresif dari bank. Bank perlu mengembangkan produk kredit yang lebih fleksibel, memperhitungkan karakter pendapatan non-formal, ataupun skema tenor yang lebih panjang agar cicilan rumah bisa sesuai dengan kemampuan masyarakat.
“Bank bisa jadi teman sejati dalam perjalanan memiliki rumah atau justru menjadi batu sandungan jika semua syaratnya terasa terlalu tinggi.”
Sinergi Kebijakan Pemerintah dan Pelaku Usaha Properti
Di sektor properti, pemerintah telah mengeluarkan berbagai insentif, mulai dari pembebasan pajak hingga dukungan pembiayaan bagi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun Purbaya menyebut bahwa sinergi antara pemerintah, pengembang, dan lembaga pembiayaan belum seoptimal seharusnya.
Pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi berjalan dengan baik, pengembang menyediakan unit yang sesuai kebutuhan dan bank menyalurkan kredit yang benar-benar terjangkau. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan agar insentif tidak hanya dinikmati oleh segmen atas yang sudah mudah mengakses kredit.
“Kebijakan bagus tapi tidak dijalankan dengan serius sama saja dengan janji yang diam-diam jadi beban.”
Pilihan dan Strategi Bagi Calon Pembeli Rumah
Bagi masyarakat yang saat ini tengah mempertimbangkan membeli rumah, baik itu rumah pertama atau upgrade rumah yang ada, Purbaya menawarkan beberapa catatan penting berdasarkan analisanya.
Pertama, calon pembeli harus mengecek kondisi keuangan sendiri, bukan hanya kemampuan cicilan bank tetapi juga biaya hidup dan potensi perubahan pendapatan ke depan.
Kedua, pilihlah lokasi dan kualitas rumah dengan mempertimbangkan akses transportasi, fasilitas umum, dan potensi kenaikan nilai. Rumah yang murah tetapi jauh dari pekerjaan atau fasilitas bisa menjadi bumerang.
Ketiga, manfaatkan skema bantuan atau subsidi yang disediakan pemerintah dan bank. Namun tetap waspadai syarat dan tarif yang mungkin berubah seiring waktu.
Keempat, bersihkan catatan SLIK dan pahami bahwa catatan kredit atau status keuangan bisa mempengaruhi akses KPR secara signifikan.
“Membeli rumah itu bukan sekadar transaksi besar, tetapi keputusan hidup yang membawa tanggung jawab panjang. Pastikan kaki Anda sudah kuat sebelum melangkah ke depan pintu rumah itu.”
